BERITA UTAMAOPINI

Kuota Perempuan dalam Pemilu: “Antara Afirmasi Konstitusional dan Regulasi Setengah Hati”

Nama : Adi Putra
Nim : 243210036
Prodi/Jurusan : HTNI (Hukum Tata Negara Islam)
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara

Bidiksulteng.com,Palu -Kuota Perempuan dalam Pemilu: Antara Afirmasi Konstitusional dan Regulasi Setengah Hati.

Partisipasi politik perempuan merupakan salah satu indikator utama kualitas demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia.

Dalam konteks Indonesia, komitmen terhadap kesetaraan gender secara normatif sebenarnya telah lama diakui, baik melalui konstitusi maupun instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi negara.

Salah satu wujudnya adalah kebijakan kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif.

Namun, pertanyaan krusial yang patut diajukan adalah: apakah kebijakan ini benar-benar mendorong kesetaraan substantif, atau sekadar menjadi simbol afirmasi tanpa daya paksa?

Secara hukum, kuota perempuan dalam pemilu dimaksudkan sebagai tindakan afirmatif untuk memperbaiki ketimpangan struktural yang selama ini menghambat perempuan dalam arena politik.

Politik bukanlah ruang yang netral, ia dibentuk oleh relasi kuasa, budaya patriarki, serta akses yang tidak setara terhadap sumber daya.

Karena itu, perlakuan yang “sama” justru sering kali melanggengkan ketidakadilan.

Di sinilah afirmasi menjadi relevan sebagai instrumen untuk mencapai keadilan yang sesungguhnya.

Konstitusi Indonesia sendiri memberi landasan kuat bagi kebijakan ini. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Prinsip ini sejalan dengan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia, yang secara eksplisit mendorong negara mengambil langkah afirmatif demi memastikan partisipasi penuh perempuan dalam kehidupan politik dan publik.
Namun, masalah utama terletak pada desain regulasi yang setengah hati.

Meskipun terdapat kewajiban kuota 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif, tidak ada sanksi yang tegas dan efektif bagi partai politik yang mengabaikannya. Akibatnya, kebijakan ini sering kali diperlakukan sebagai formalitas administratif, bukan sebagai kewajiban konstitusional yang serius.

Negara seolah puas dengan pemenuhan prosedural, tanpa memastikan dampak nyata di lapangan.
Ketiadaan sanksi mencerminkan lemahnya komitmen negara dalam menjamin kesetaraan substantif.

Partai politik masih dapat mengakali aturan dengan menempatkan perempuan di nomor urut tidak strategis atau mencalonkan perempuan semata untuk memenuhi syarat administratif.

Dalam kondisi seperti ini, kuota tidak lagi berfungsi sebagai alat korektif, melainkan berubah menjadi legitimasi palsu atas sistem politik yang tetap maskulin dan eksklusif.

Dari perspektif HAM, situasi ini problematik. Hak politik perempuan bukanlah hak tambahan, melainkan hak fundamental yang wajib dilindungi dan dipenuhi negara. Negara tidak cukup hanya “membuka pintu”, tetapi juga harus memastikan perempuan benar-benar dapat masuk dan berperan secara setara.

Ketika hambatan struktural dibiarkan tanpa intervensi yang memadai, negara dapat dinilai gagal menjalankan kewajiban positifnya dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi perempuan.
Lebih jauh, kegagalan menjamin keterwakilan perempuan secara substantif juga berdampak pada kualitas kebijakan publik.

Minimnya suara perempuan dalam lembaga legislatif berpotensi menghasilkan produk hukum yang tidak sensitif gender dan mengabaikan pengalaman serta kebutuhan setengah dari populasi. Demokrasi yang demikian jelas timpang dan kehilangan legitimasi moralnya.

Oleh karena itu, diperlukan afirmasi hukum yang lebih tegas dan konsisten. Pengaturan kuota perempuan seharusnya disertai sanksi yang jelas, efektif, dan menimbulkan efek jera bagi partai politik yang tidak patuh.

Selain itu, negara perlu memastikan bahwa afirmasi tidak berhenti pada tahap pencalonan, tetapi juga memperhatikan penempatan nomor urut, pendidikan politik perempuan, serta reformasi internal partai yang selama ini menjadi benteng patriarki.

Pada akhirnya, kuota perempuan dalam pemilu tidak boleh diperlakukan sebagai hadiah simbolik atau kewajiban administratif semata. Ia adalah instrumen konstitusional untuk membangun demokrasi yang inklusif dan berkeadilan.

Tanpa keberanian politik untuk memperkuat regulasi dan menegakkannya secara serius, kuota 30 persen hanya akan menjadi angka kosong indah di atas kertas, namun hampa dalam praktik.

Demokrasi sejati tidak diukur dari banyaknya aturan, melainkan dari sejauh mana aturan tersebut mampu mengubah ketidakadilan menjadi kesetaraan yang nyata.(**)

Related Articles

Close